Lingkanews.com | Aceh – Penundaan pembayaran gaji atau upah oleh majikan kepada pekerja tanpa alasan syar’i dikategorikan sebagai perbuatan zalim dalam fikih Islam. Konsep pembayaran upah atau gaji dalam Islam dikenal sebagai ijarah, yang secara bahasa berarti kompensasi atas jasa atau manfaat.
Dalam al-Mu’jam al-Wasith, ijarah didefinisikan sebagai imbalan atas pekerjaan yang diberikan dalam bentuk manfaat atau ganti rugi. Islam bahkan memberikan standar layak bagi seorang pekerja, yaitu upah yang cukup untuk hidup dengan tenang dan bermartabat.
Namun, bagaimana teknis pembayaran gaji dalam syariat Islam? Bolehkah menunda pemberian upah?
Mayoritas ulama sepakat bahwa upah pekerja wajib dibayarkan segera setelah pekerjaan selesai. Hal ini berdasarkan hadis sahih dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah). Ini adalah perintah langsung yang wajib dipatuhi oleh setiap majikan.
Imam al-Munawi menegaskan, menunda pembayaran upah tanpa uzur syar’i merupakan bentuk kezaliman. Bahkan, dalam Faidhul Qadir ia menulis bahwa orang yang menunda-nunda gaji padahal mampu membayarnya telah kehilangan kehormatannya dan layak diberi sanksi.
Hadis lain menyebutkan, “Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam konteks ini, gaji termasuk hak yang wajib ditunaikan tepat waktu.
Majikan yang kerap menahan gaji bahkan diancam dalam hadis qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW menyampaikan sabda Allah: “Ada tiga golongan yang Aku perangi pada hari kiamat… dan salah satunya adalah orang yang memperkerjakan orang lain lalu tidak membayar upahnya setelah selesai pekerjaan.” (HR Bukhari).
Lebih lanjut, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami menjelaskan bahwa menahan upah termasuk tindakan yang menjadikan Allah sebagai musuh. Maka dari itu, penundaan gaji yang disengaja adalah pelanggaran berat, bahkan jika si pekerja masih mendapat upah secara bulanan namun terlambat dari jadwal seharusnya.
Namun, jika terjadi kesepakatan antara majikan dan pekerja—misalnya upah diberikan per tahun atau saat masa kerja berakhir—dan kedua belah pihak ridha, maka hal itu dibolehkan selama dicantumkan secara jelas dalam akad. Hal ini juga difatwakan oleh Al Lajnah Ad Daimah, lembaga fatwa Kerajaan Arab Saudi.
“Kaum Muslimin wajib memenuhi akad dan perjanjian yang telah disepakati,” tegas lembaga tersebut dalam fatwanya.
Dalam konteks kekinian, banyak perusahaan yang mencoba mengakali jadwal pembayaran gaji, seperti menunda hingga pertengahan bulan berikutnya. Meskipun gaji tetap diterima setiap bulan, praktik ini tetap dianggap zalim bila bertentangan dengan perjanjian awal dan tanpa persetujuan pekerja.
Islam menekankan pentingnya keadilan dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, transparansi akad dan komitmen dalam pembayaran gaji menjadi kewajiban mutlak majikan, bukan hanya dalam hukum dunia, tapi juga di hadapan Allah SWT.