Memoar Penikmat Musik Etnis di Era AI
Aku tumbuh bersama denting suara yang lahir dari tradisi. Setiap sore, udara kampungku dipenuhi oleh irama yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyatukan. Musik etnis bukan sekadar bunyi, melainkan bahasa kolektif yang kami warisi sejak dulu.
Kala itu, tak ada platform streaming. Tak ada algoritma yang menentukan apa yang harus kami dengar. Semua mengalir alami. Dari acara kenduri hingga latihan tari sore di halaman balai desa, musik selalu hadir sebagai bagian dari hidup, bukan produk yang dijual.
Namun, ketika zaman berganti, suasana itu perlahan memudar. Semakin banyak orang yang memilih lagu-lagu viral, semakin sunyi musik yang lahir dari akar budaya kita. Aku hanya penikmat biasa. Tapi aku menyaksikan pergeseran ini dengan rasa campur aduk. Ada rasa kehilangan, tapi juga semangat untuk menjaga yang tersisa.
Dunia yang Ditentukan Algoritma
Kini, dunia musik tak lagi netral. Platform digital seperti Spotify, YouTube, dan TikTok menawarkan pilihan berdasarkan algoritma. Mereka membaca kebiasaan kita, lalu menyajikan musik yang serupa berulang-ulang. Bukan karena lagu itu terbaik, tetapi karena sistem menilainya paling “relevan.”
Sebagai pendengar setia musik etnis, aku merasa terpinggirkan. Lagu-lagu tradisi jarang muncul di beranda aplikasi. Bahkan ketika aku aktif mencarinya, sistem tetap lebih suka menyodorkan lagu yang sedang tren. Ini bukan sekadar perubahan selera, tetapi penyeragaman selera.
Akibatnya, musik lokal semakin kehilangan panggung. Musisi etnis kesulitan menjangkau publik. Mereka bersaing dengan konten cepat saji yang mudah viral. Padahal, musik etnis menyimpan makna yang dalam—tentang sejarah, identitas, dan perjuangan sebuah komunitas.
Sungguh ironi. Kita hidup di zaman serba terbuka, namun justru semakin sempit dalam pilihan. Teknologi memang memberikan kemudahan, tetapi juga menggiring kita untuk lupa pada akar budaya sendiri.
Ketika Mesin Menggubah Lagu
Kecerdasan buatan (AI) kini mampu menciptakan lagu hanya dalam hitungan detik. Banyak orang terkagum-kagum. Mesin bisa membuat lirik, menentukan harmoni, dan bahkan menyanyikannya dengan suara tiruan manusia. Inovasi ini memang luar biasa. Tapi apakah kita betul-betul siap?
Aku pernah mencoba mendengarkan lagu yang diciptakan oleh AI. Suaranya bersih. Melodinya rapi. Namun, ada sesuatu yang hilang—jiwa. Musik buatan mesin terdengar sempurna, tapi terasa dingin. Ia tak menyentuh perasaan. Ia tak menyimpan kisah. Musik tradisi, sebaliknya, walau kadang sederhana, mampu membuat hati bergetar.
Teknologi boleh terus maju, tetapi kita perlu bertanya: apa tujuan kita menciptakan musik? Jika hanya untuk memuaskan algoritma dan menaikkan klik, maka kita telah kehilangan esensi seni.
Menjaga Warisan Lewat Telinga Digital
Meski menghadapi tantangan, aku tidak menyerah. Aku memanfaatkan media sosial untuk membagikan potongan-potongan musik lokal yang kusimpan. Aku buat video pendek, menambahkan cerita di balik tiap lagu, lalu membagikannya ke berbagai grup. Ternyata, masih banyak orang yang peduli.
Beberapa anak muda mulai tertarik. Mereka bertanya, mereka mendengarkan, dan mereka bahkan mulai mencoba memainkan alat musik tradisional. Aku merasa lega. Setidaknya, benih kesadaran mulai tumbuh kembali. Dengan bantuan teknologi, aku berupaya menyuarakan warisan ini, bukan untuk melawan zaman, melainkan untuk ikut hadir di dalamnya dengan identitas sendiri.
Teknologi seharusnya menjadi jembatan, bukan penghapus sejarah. Maka, penting bagi kita untuk aktif menempatkan musik etnis di ruang digital. Bukan sekadar nostalgia, tetapi bagian dari keberlanjutan budaya.
Di Panggung Kecil Itu, Harapan Menyala
Beberapa waktu lalu, aku menghadiri sebuah pertunjukan lokal. Panggungnya kecil, tetapi antusiasme penonton begitu besar. Anak-anak muda tampil membawakan musik etnis dengan sentuhan modern. Mereka mencampur tabuhan tradisional dengan beat elektronik. Hasilnya unik, menyegarkan, dan tetap menghormati akar.
Aku duduk di barisan tengah. Dadaku hangat. Di tengah gempuran AI dan algoritma, ada suara yang tetap bertahan. Ada generasi yang tidak melupakan. Ada semangat yang tetap menyala.
Salah satu dari mereka mendekat seusai tampil. Ia berkata, “Kami ingin generasi kami kenal suara sendiri. Bukan hanya yang dari luar.” Kalimat itu seperti tetes air di padang gersang. Sebuah pengingat bahwa perjuangan belum sia-sia.
Lagu Itu Tak Pernah Benar-Benar Hilang
Sering kali aku merasa musik etnis sudah punah. Tapi ternyata, lagu itu hanya berpindah tempat. Ia tak lagi berdentum di radio, tapi bersembunyi di kanal-kanal kecil, di podcast rumahan, di grup komunitas. Ia hidup dalam ingatan, dalam kenangan, dan dalam upaya kecil yang dilakukan orang-orang biasa.
Aku percaya, selama ada yang mau mendengarkan, musik itu akan tetap hidup. Bahkan jika hanya satu anak muda yang tertarik, itu sudah cukup menjadi awal. Kita tidak butuh massa besar untuk memulai perubahan. Kita butuh kesadaran dan keberanian.
Karena itu, aku terus menulis, terus berbagi, dan terus bersuara. Musik etnis bukan beban masa lalu. Ia adalah jendela untuk melihat siapa kita. Ia mengajarkan bahwa seni tak bisa digantikan mesin, karena seni lahir dari rasa.
Penutup: Antara Ingatan dan Harapan
Hari ini, aku masih mendengarkan lagu-lagu lama. Bukan karena aku menolak yang baru, tetapi karena aku ingin tetap terhubung dengan akar. Dalam setiap suara serune, dalam setiap denting rapa’i, aku menemukan kembali diriku.
AI mungkin bisa membuat musik. Algoritma mungkin bisa menentukan tren. Tapi mereka tidak bisa menghapus ingatan. Tidak bisa menggantikan kenangan. Dan tidak akan mampu merampas rasa cinta pada suara-suara yang lahir dari tanah ini.
Sebagai penikmat musik etnis, aku mungkin tidak memiliki pengaruh besar. Namun, aku punya satu kekuatan: kesetiaan. Aku akan tetap menyuarakan yang lama agar tak dilupakan. Dan suatu hari, ketika generasi berikutnya bertanya, “Apa musik itu?” aku akan jawab, “Musik adalah rumah. Tempat kita kembali.”