Ghufran Zainal Abidin Terseret Kasus DKPP: Dugaan Pengalihan Suara PKS Jadi Sorotan
Lingkanews.com | Banda Aceh — Nama Ghufran Zainal Abidin menjadi perbincangan hangat setelah disebut dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025. Sidang ini membahas laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh yang dituduh mengalihkan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Ghufran, caleg DPR RI nomor urut 1 dari partai tersebut.
Sebagai tokoh penting dalam pemenangan pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN) di Aceh, Ghufran mendapat sorotan lebih tajam. Menurut laporan, Ketua KIP Banda Aceh, Yusri Razali, memberikan instruksi kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk memindahkan suara PKS dari caleg lain ke Ghufran. Tidak hanya itu, Yusri juga dituduh mengatur penggelembungan suara untuk caleg PDIP nomor urut 1, Sofyan Dawood.
Dugaan Pelanggaran Terstruktur dan Melibatkan Banyak Pihak
Laporan yang disampaikan pengadu menyebut bahwa perintah Yusri tidak bersifat personal. Tiga komisioner lainnya—Muhammad Zar, Rachmat Hidayat, dan Saiful Haris—ikut mengetahui dan mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Fakta ini mengindikasikan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Dalam sidang, DKPP menghadirkan Ketua Majelis Muhammad Tio Aliansyah serta tiga anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Aceh, yaitu Vendio Elaffdi dari unsur masyarakat, Khairunnisak dari unsur KPU, dan Safwani dari unsur Bawaslu. Sidang berlangsung terbuka, dan semua keterangan saksi serta bukti tertulis dikaji secara objektif.
Fakta lain menunjukkan bahwa Ghufran meraih 46.713 suara dalam Pemilu 2024. Ia menempati posisi ketujuh di Dapil Aceh I dan melenggang ke Senayan setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal mencapai ambang batas parlemen. Namun, banyak pihak menilai suara Ghufran tidak murni karena adanya dugaan manipulasi yang menguntungkannya.
Rafly Kande Mundur: Tuding Partai Ubah Suara Diam-Diam
Gelombang kritik semakin deras ketika Rafly Kande, anggota DPR RI dari PKS periode 2019–2024, mengundurkan diri dari partai. Dalam konferensi pers pada Senin, 27 Mei 2025, Rafly mengaku kecewa karena partai tidak menjunjung etika internal. Ia menilai PKS mengalihkan suara yang semestinya menjadi haknya kepada Ghufran secara sepihak.
“Saya tidak bisa menerima praktik seperti ini. Partai seharusnya menjaga suara rakyat, bukan memanipulasinya,” tegas Rafly di Banda Aceh.
Ironisnya, Ghufran sempat hadir ketika DPW PKS Aceh melaporkan dugaan penggelembungan suara milik caleg PDIP ke Panwaslih Aceh pada Maret 2024. Saat itu, PKS kehilangan satu kursi di Dapil Aceh I karena dugaan kecurangan dari luar. Kini, publik justru menuding Ghufran mendapat kursi hasil manipulasi internal.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius terkait konsistensi sikap partai. Banyak kalangan sipil menilai PKS gagal menjaga integritas internalnya, apalagi ketika caleg sendiri diduga menjadi penerima manfaat dari praktik yang sebelumnya mereka kecam.
Sidang DKPP Ungkap Detail Rencana Pemindahan Suara
Dalam sidang perkara Nomor 158-PKE-DKPP/VI/2025, pengadu Fakhrul Rizal menunjuk tiga kuasa hukum: Teuku Alfiansyah, Zahrul, dan Zulfiansyah. Mereka menguraikan bagaimana Ketua KIP Banda Aceh memberikan instruksi kepada Ketua PPK Syiah Kuala dan Kuta Raja untuk mengubah hasil perolehan suara.
Kuasa hukum menyatakan bahwa ketiga komisioner lain tidak menghentikan pelanggaran tersebut. Bahkan, mereka mendukung secara teknis melalui mekanisme rekapitulasi di tingkat kecamatan hingga kota. Bukti yang diajukan termasuk hasil rekap, pesan elektronik, dan catatan internal.
DKPP akan melanjutkan proses penyelidikan pada sidang lanjutan. Lembaga ini berkomitmen untuk meneliti seluruh bukti dan mendengarkan saksi tambahan. Jika dugaan terbukti benar, maka kelima komisioner KIP Banda Aceh dapat dikenai sanksi berat. Selain itu, status Ghufran sebagai legislator berpotensi digugat secara hukum.
Pengamat Dorong DKPP Tegas, Masyarakat Diminta Kawal Proses
Beberapa pengamat menyampaikan keprihatinan terhadap integritas penyelenggara pemilu. Direktur Aceh Electoral Watch, Fajri M. Isa, menyebut bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk jika tidak ditindak secara tegas. Ia menekankan pentingnya akuntabilitas dalam tubuh penyelenggara pemilu dan partai politik.
“Ketika suara dimanipulasi dari dalam, publik kehilangan dua lapis kepercayaan—terhadap partai dan lembaga pemilu. Maka, DKPP harus bertindak cepat dan objektif,” jelas Fajri.
Menurutnya, jika DKPP terbukti lalai atau lamban, maka gerakan masyarakat sipil perlu turun tangan. Ia juga menyarankan agar semua data rekapitulasi diakses publik untuk memastikan transparansi. Selain itu, lembaga pemantau pemilu perlu mengawasi seluruh proses hingga selesai.
Publik Aceh kini menaruh harapan besar pada DKPP agar mampu menyelesaikan kasus ini tanpa kompromi. Mereka ingin proses berjalan adil, cepat, dan terbuka agar demokrasi tetap terjaga.