Artikel

Mengapa Anak Tak Suka Membaca?

Ilustrasi Ibu membaca buku dengan anak

Saat Buku Tak Lagi Menarik

Pada suatu sore yang hangat, seorang ibu duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Di tangannya tergeletak sebuah buku cerita bergambar yang sudah usang. Anaknya yang berusia delapan tahun lebih tertarik menatap layar tablet daripada menyentuh lembaran buku tersebut. Padahal dulu, buku itu adalah favorit sang ibu sewaktu kecil. Ia bertanya dalam hati: Mengapa anakku tak suka membaca seperti dulu aku menyukainya?

Pertanyaan itu bukan hanya miliknya. Banyak orang tua menghadapi kenyataan serupa: anak-anak tak lagi menunjukkan minat membaca. Namun, sebelum menyalahkan dunia digital, penting bagi kita untuk menengok ke cermin. Apakah sebagai orang tua, kita telah berkontribusi terhadap menjauhnya anak dari buku?


Penyebab Anak Menjauh dari Aktivitas Membaca

Alih-alih menyalahkan anak-anak atau teknologi, sebaiknya kita mengkritisi pola asuh yang tidak ramah literasi. Banyak orang tua, tanpa sadar, menciptakan lingkungan yang membuat buku terasa asing bagi anak-anak.

Pertama-tama, sebagian orang tua terlalu cepat memberikan gawai sebagai solusi dari kerepotan sehari-hari. Saat anak menangis, rewel, atau sekadar bosan, tablet atau ponsel sering kali menjadi “penenang” instan. Anak pun belajar, bahwa layar jauh lebih menyenangkan daripada buku. Bahkan, beberapa orang tua justru memarahi anak saat mereka membongkar rak buku, dengan alasan takut berantakan.

Kedua, tidak sedikit orang tua memaksa anak membaca layaknya kewajiban sekolah. Mereka menyodorkan buku bacaan tanpa empati, lalu mengomel saat anak tidak tertarik. Buku pun berubah menjadi tugas, bukan teman bermain. Ini kesalahan yang tak boleh diabaikan. Membaca haruslah pengalaman menyenangkan, bukan beban tambahan.

Ketiga, lingkungan rumah sering kali tidak mendukung suasana literasi. Rak buku terletak di sudut berdebu, lampu ruang baca terlalu redup, dan tidak ada waktu khusus untuk membaca bersama. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin anak mencintai buku?


Membaca Butuh Teladan, Bukan Ceramah

Anak belajar bukan dari kata-kata, tetapi dari apa yang mereka lihat setiap hari. Jika orang tua tidak pernah membuka buku di rumah, lalu mengapa berharap anak melakukannya?

Di sebuah keluarga sederhana di Yogyakarta, seorang ayah punya kebiasaan unik: setiap malam sebelum tidur, ia duduk di samping anaknya dan membaca novel sambil bersuara lirih. Meskipun anaknya belum memahami isinya, ia senang mendengarkan suara ayahnya dan melihat halaman demi halaman berpindah. Setelah beberapa bulan, anak itu mulai tertarik membuka buku cerita bergambar miliknya sendiri.

Cerita itu nyata dan menggambarkan satu hal penting: teladan jauh lebih kuat daripada perintah. Anak-anak perlu melihat orang tuanya menikmati buku, bukan hanya menyuruh mereka melakukannya. Saat ayah atau ibu lebih sering terlihat memegang ponsel daripada buku, jangan heran jika anak mengikuti pola yang sama.


Membangun Rutinitas Baca di Tengah Hiruk-Pikuk

Sebagian besar orang tua berkata, “Kami terlalu sibuk untuk membaca bersama anak.” Namun sebenarnya, masalahnya bukan pada waktu, melainkan pada prioritas. Jika orang tua menganggap membaca penting, mereka pasti menemukan caranya.

Misalnya, saat sarapan pagi, orang tua bisa membacakan satu paragraf cerita lucu atau fakta menarik. Di dalam mobil, perjalanan ke sekolah dapat diisi dengan cerita singkat. Saat makan malam, alih-alih menyalakan televisi, keluarga bisa berbagi buku yang mereka baca hari itu. Semua kegiatan itu tidak memerlukan satu jam khusus—hanya niat dan kreativitas.

Rutinitas sederhana ini perlahan membentuk kebiasaan. Anak akan mengasosiasikan membaca dengan momen hangat bersama keluarga. Buku tidak lagi menjadi benda asing, tetapi bagian dari hari-hari mereka.


Mengembalikan Buku ke Pusat Kehidupan Anak

Sekolah memang punya tanggung jawab mengajarkan membaca. Namun, rumah adalah tempat di mana anak belajar mencintai membaca. Maka, orang tua harus menjadikan rumah sebagai taman literasi: penuh cerita, penuh dialog, penuh inspirasi.

Beberapa hal praktis yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menyediakan rak buku terbuka di tempat yang mudah dijangkau anak.

  • Menyisihkan waktu lima belas menit sebelum tidur untuk membaca bersama.

  • Membiarkan anak memilih buku yang mereka suka, tanpa paksaan.

  • Mengunjungi perpustakaan atau toko buku sebagai bagian dari jalan-jalan keluarga.

Dengan pendekatan ini, anak-anak tidak akan merasa tertekan, melainkan penasaran. Buku menjadi jendela dunia, bukan beban baru.


Kritik Konstruktif: Mari Akhiri Pola Salah Didik

Kita hidup di era banjir informasi, tetapi bukan berarti kita harus membanjiri anak dengan layar. Buku memberikan ruang bagi imajinasi, memperkuat daya pikir, dan memperdalam empati. Sayangnya, sebagian orang tua masih terjebak pada dua ekstrem: membebaskan anak tenggelam dalam gawai, atau memaksa mereka membaca buku seperti mengerjakan PR.

Sudah saatnya kita ubah pendekatan itu. Literasi bukan sekadar keterampilan teknis. Ia adalah bagian dari pola hidup. Jika kita ingin anak-anak mencintai membaca, kita harus menciptakan suasana rumah yang memberi ruang pada keingintahuan, dialog, dan keintiman lewat kata-kata.

Dan yang paling penting, berhentilah menyalahkan teknologi. Tablet atau ponsel tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan membaca cerita bersama ibu di ruang keluarga, atau diskusi kecil tentang buku petualangan favorit ayah.


Harapan Baru Lewat Halaman Buku

Di tengah tantangan zaman, orang tua masih punya harapan besar: menghadirkan kembali buku sebagai bagian penting dari kehidupan anak. Dengan kesadaran, teladan, dan rutinitas sederhana, kita bisa menyalakan kembali api kecintaan membaca di hati anak-anak.

Mungkin kita pernah salah langkah. Mungkin kita pernah terlalu sibuk, terlalu cuek, atau terlalu keras. Namun, belum terlambat untuk kembali. Buku masih menunggu. Dan anak-anak kita, tanpa mereka tahu, sangat membutuhkan jendela itu untuk melihat dunia.


Oleh Redaksi Lingkanews

Berikan Komentar
error: Content is protected !!