Air Mata Anak di Tanah Rencong: Tragedi yang Menggugah Nurani

Drs. Isa Alima, Ketua PBN Aceh

Oleh: Drs. M. Isa Alima
Pemerhati Sosial, Budaya, dan Kepentingan Aceh


Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Aman

Aceh memikul luka mendalam. Dua kasus kekerasan seksual terhadap anak mengguncang kesadaran kolektif kita. Di Banda Aceh, seorang gadis remaja akhirnya bersuara. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, ia menjadi korban pemerkosaan berulang oleh teman dekat ayahnya. Lelaki itu sering hadir sebagai tamu keluarga, bahkan disambut dengan kepercayaan. Tapi keakraban itu justru menyembunyikan bahaya.

Sementara di Pidie, seorang ayah tiri menghancurkan amanah pernikahan. Ia menyalahgunakan perannya, mengoyak harga diri anak tirinya, dan menjadikan rumah sebagai tempat paling menakutkan bagi si anak.

Tragedi ini menunjukkan bahwa rumah tak selalu aman. Banyak anak menghadapi ancaman justru dari orang-orang terdekat. Kita menyangka predator bersembunyi di jalanan, tapi ternyata mereka ada di ruang makan, di ruang tamu, di kamar tidur yang semestinya melindungi.

Sayangnya, masyarakat masih sering mengabaikan jeritan anak. Budaya malu kerap mengorbankan keselamatan mereka. Banyak korban dipaksa bungkam demi menjaga citra keluarga. Padahal, ketika anak terpaksa diam, pelaku merasa semakin leluasa.


Serambi Mekkah yang Retak karena Budaya Diam

Julukan “Serambi Mekkah” tak akan berarti jika anak-anak justru paling rentan di tanah ini. Syariat yang dikumandangkan dari panggung politik tak akan menyelamatkan mereka tanpa tindakan nyata. Masjid-masjid bisa memekikkan ayat, tetapi bila anak-anak menangis dalam kamar tanpa perlindungan, semua itu hanya simbol kosong.

Aceh memiliki qanun syariat, cambuk di alun-alun, dan jargon keislaman di berbagai baliho. Tapi adakah keberanian untuk membicarakan kekerasan seksual secara terbuka di mimbar-mimbar Jumat? Berapa banyak khatib yang menyuarakan bahwa menyakiti anak adalah dosa besar?

Masyarakat sering membungkam korban dengan dalih kehormatan. Kalimat seperti “jangan memalukan keluarga” atau “selesaikan diam-diam” justru memperparah luka anak. Budaya ini menjadikan aib lebih penting dari penyembuhan. Lebih dari itu, ia memberi ruang bagi pelaku untuk terus menyakiti.

Sikap bungkam seperti ini membuat kita sama bersalah. Bukan karena ikut menyakiti, melainkan karena membiarkan. Saat korban berjuang sendiri, dan pelaku diselimuti relasi sosial, kita sedang mengkhianati nilai-nilai dasar keadilan.


Saatnya Ulama, Negara, dan Masyarakat Bertanggung Jawab

Aceh tidak kekurangan aturan. Yang kurang ialah keberanian untuk menegakkan keadilan.
Ulama harus bicara lebih lantang. Gunakan mimbar untuk memperingatkan bahwa melukai anak adalah pengkhianatan terhadap amanah ilahi. Jangan hanya membahas fiqh wudu atau tayamum; bicarakan juga soal perlindungan anak dan kehormatan keluarga yang sejati.

Pemerintah perlu lebih dari sekadar membanggakan Qanun. Bangun sistem pengaduan yang aman. Latih petugas agar mampu mendengar tanpa menghakimi. Sediakan pendampingan psikologis bagi korban dan keluarganya. Biarkan korban merasa didukung, bukan dikucilkan.

Masyarakat juga harus berubah. Orang tua perlu mendidik anak tentang hak tubuh dan keberanian bersuara. Guru harus menciptakan ruang aman di sekolah. Tetangga mesti peka terhadap tanda-tanda kekerasan. Kita semua punya peran untuk menghentikan budaya bungkam.

Anak-anak adalah cerminan masa depan Aceh. Jika kita gagal melindungi mereka hari ini, sejarah akan mencatat bahwa kita hanya pandai berbicara, tapi tak mampu menjaga. Dan ketika anak-anak itu dewasa, luka mereka bisa berubah menjadi kemarahan atau kehilangan arah hidup.


Penutup: Tangisan Mereka, Panggilan untuk Kita

Tragedi ini bukan sekadar berita. Ia adalah cambuk bagi nurani. Ia menyerukan perubahan nyata—bukan sekadar simpati atau pernyataan belasungkawa.

Biarkan air mata mereka menjadi alasan bagi kita untuk bertindak. Jadikan kisah mereka sebagai awal dari budaya baru yang berpihak pada korban dan tegas terhadap pelaku. Lindungi anak-anak kita, bukan hanya dari bahaya luar, tapi juga dari pengkhianatan di dalam rumah.

Mereka bukan anak orang lain. Mereka adalah anak-anak kita. Dan suatu hari nanti, mereka akan bertanya, “Di mana kalian ketika aku membutuhkan perlindungan?”

Berikan Komentar
error: Content is protected !!