Hukum Patungan Kurban di Sekolah: Menelaah Aspek Syariat dan Pendidikan Sosial
Memasuki Bulan Dzulhijjah: Tradisi Kurban di Sekolah
Memasuki bulan Dzulhijjah, momentum Idul Adha menjadi waktu bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan dan kepedulian sosial. Di banyak sekolah, penggalangan dana secara patungan oleh siswa menjadi hal yang lumrah. Kegiatan ini biasanya dimotori oleh pihak sekolah sebagai upaya mengajarkan nilai berbagi dan pengenalan ibadah kurban secara praktis kepada anak-anak.
Namun demikian, model patungan kurban yang dilakukan oleh murid dengan membeli seekor kambing atau sapi secara kolektif, menimbulkan pertanyaan mendalam terkait keabsahan ibadah kurban menurut syariat Islam. Apakah model ini benar-benar memenuhi ketentuan hukum kurban ataukah hanya sekadar sedekah biasa?
Konsep Ibadah Kurban dalam Islam: Bersifat Individual
Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang diatur secara ketat dalam Islam, baik dari segi syarat hewan, waktu penyembelihan, hingga status orang yang berkurban. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Raudhatut Thalibin menegaskan:
“Seekor kambing hanya boleh dikurbankan untuk satu orang saja. Jika salah satu anggota keluarga berkurban, maka sudah dianggap sebagai syiar dan sunnah untuk seluruh keluarga. Sebagaimana fardhu itu terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, demikian juga kurban yang merupakan sunnah muakkadah bagi setiap keluarga.” (Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz 2, hlm. 466)
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i:
“Kami pernah bepergian bersama Rasulullah SAW saat Hari Raya Idul Adha tiba. Kami iuran membeli unta untuk sepuluh orang dan sapi untuk tujuh orang.” (HR. An-Nasa’i)
Hadis ini menjadi dalil kuat bahwa hewan kurban unta dapat dibagi untuk sepuluh orang, dan sapi untuk tujuh orang. Sedangkan kambing hanya untuk satu orang saja.
Patungan Kurban di Sekolah: Status Hukum dan Implikasinya
Ketika sebuah kelas atau sekolah mengumpulkan dana dari siswa-siswi untuk membeli seekor kambing atau sapi, dan kemudian hewan tersebut disembelih untuk dibagikan dagingnya, status ibadahnya tidak serta merta menjadi kurban yang sah. Sebab, hukum Islam menetapkan bahwa kurban adalah ibadah individu, sehingga penyembelihan yang dilakukan atas nama kolektif tanpa menetapkan siapa pengurbannya tidak memenuhi syarat kurban.
Buya Yahya, ulama terkemuka Indonesia, memberikan penjelasan terkait hal ini:
“Patungan untuk membeli hewan kurban di sekolah itu baik sebagai sedekah dan pendidikan sosial. Namun, untuk sahnya ibadah kurban, harus ada satu orang atau tujuh orang (untuk sapi) yang secara resmi menjadi pengurban. Kalau tidak, itu bukan ibadah kurban tetapi sedekah daging biasa.” (Buya Yahya, ceramah tentang Hukum Patungan Kurban, 2020)
Cara Agar Patungan Kurban Sah dalam Islam
Agar patungan kurban di sekolah bisa dianggap sah menurut syariat, ada cara yang dapat ditempuh. Jika murid-murid dalam satu kelas patungan untuk membeli seekor kambing, maka kambing tersebut bisa “dihadiahkan” atau “dititipkan” kepada salah satu murid sebagai pengurban resmi. Dengan begitu, kambing itu benar-benar milik satu orang, dan ibadah kurban dinilai sah.
Sedangkan untuk sapi atau hewan besar lainnya, apabila patungan dilakukan oleh tujuh orang, maka tujuh orang tersebut dapat secara bersama-sama menjadi pengurban. Apabila peserta patungan lebih dari tujuh, maka harus dilakukan penunjukan pengurban maksimal tujuh orang saja.
Model ini menjaga agar prinsip kurban yang bersifat individual tidak terganggu, sekaligus memberikan ruang bagi kolektifitas dan kerjasama dalam berkurban.
Pentingnya Waktu Penyembelihan dan Niat dalam Kurban
Selain aspek kepemilikan dan jumlah pengurban, waktu penyembelihan juga menentukan sah atau tidaknya ibadah kurban. Penyembelihan harus dilakukan mulai dari setelah shalat Idul Adha sampai selesai khutbah Idul Adha di hari yang sama.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni menjelaskan:
“Waktu sah kurban adalah sejak terbit fajar hari raya Idul Adha sampai terbenam matahari hari tasyrik terakhir. Penyembelihan sebelum waktu ini tidak dihitung sebagai kurban.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 3, hlm. 39)
Hal ini penting agar umat Islam tidak salah kaprah dan tetap menjalankan ibadah kurban sesuai aturan yang berlaku.
Pendidikan Nilai Sosial dan Agama Melalui Kurban Kolektif
Walaupun dari sisi hukum patungan kurban tidak dapat langsung dikatakan sah sebagai ibadah kurban, praktik penggalangan dana bersama untuk membeli hewan kurban di sekolah memiliki nilai positif. Sekolah berperan besar dalam mengenalkan nilai sosial keagamaan kepada murid.
Dengan ikut serta dalam kegiatan ini, anak-anak belajar makna berbagi, kepekaan sosial terhadap sesama, serta mendapat pengalaman langsung dalam tradisi Islam yang sangat penting ini. Patungan kurban menjadi media edukasi agama sekaligus pelatihan jiwa sosial yang sangat berharga.
Kiat Menjalankan Kurban yang Sah dan Berkah
Agar pelaksanaan kurban di lingkungan sekolah maupun masyarakat berjalan sesuai syariat, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh, yaitu:
-
Penunjukan Pengurban Resmi
Dalam patungan, harus ada pengurban resmi yang ditetapkan, entah satu orang (untuk kambing) atau tujuh orang (untuk sapi dan sejenisnya). -
Pelaksanaan Sesuai Waktu
Penyembelihan dilakukan sesuai waktu yang ditetapkan, yaitu setelah shalat Idul Adha hingga waktu berakhirnya hari tasyrik. -
Pendistribusian Daging Sesuai Ketentuan
Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan keluarga, serta bagian yang diambil oleh pengurban. -
Pendidikan dan Sosialisasi
Sekolah dan lembaga harus mengedukasi peserta kurban terkait hukum dan tata cara kurban agar pemahaman tidak keliru.
Dampak Positif dan Nilai Keberkahan Kurban Patungan
Walau dalam hal hukum patungan kurban memiliki batasan, secara sosial dan kemasyarakatan, kegiatan ini mendatangkan banyak manfaat. Kegiatan ini menumbuhkan rasa solidaritas, mempererat tali persaudaraan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat kurang mampu yang menjadi penerima daging kurban.
Selain itu, bagi para peserta patungan, meskipun tidak mendapat pahala kurban secara langsung, mereka tetap memperoleh pahala dari sisi sedekah dan membantu sesama dalam beribadah.
Kesimpulan
Secara syariat, ibadah kurban bersifat individual dan harus memenuhi syarat tertentu agar sah. Patungan kurban di sekolah, bila tidak diikuti penunjukan pengurban secara resmi, tidak termasuk ibadah kurban, melainkan sedekah daging biasa.
Namun, upaya penggalangan dana kolektif ini tetap bernilai baik sebagai sarana pendidikan dan amal sosial. Dengan pendekatan yang tepat, seperti menetapkan pengurban dari peserta patungan, kegiatan ini dapat menjadi ibadah kurban yang sah sekaligus media pembelajaran nilai-nilai agama bagi generasi muda.
Referensi dan Sumber
-
Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Darul Fikr, Beirut, 1425 H/2005 M.
-
Imam An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i.
-
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, Juz 3.
-
Buya Yahya, Ceramah Hukum Patungan Kurban, 2020.
-
Muhammad Al-Munajjid, Islam Q&A, Fatwa tentang hukum patungan kurban,