Mahfud MD: Pemakzulan Gibran Secara Politik Nyaris Tidak Mungkin

Mantan Menteri Pertahanan, Mahfud MD, Dalam tayangan YouTube-nya, Selasa (6/5/2025),

Lingkanews.com | JakartaPakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD, menilai bahwa pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memang memungkinkan secara hukum, tetapi nyaris mustahil secara politik.

Pernyataan ini disampaikan Mahfud untuk merespon usulan Forum Purnawirawan TNI yang menyarankan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memberhentikan Gibran dari jabatan Wakil Presiden. Ia menyebut, prosedur hukum memang tersedia, namun kekuatan politik yang besar dari koalisi Prabowo-Gibran membuat hal tersebut tidak realistis.

Usul pemakzulan Gibran itu secara teoretis ketatanegaraan bisa, tapi secara politik akan sulit,” ujar Mahfud dalam pernyataannya yang dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Rabu (7/5/2025).

Mahfud menjelaskan bahwa menurut Pasal 7A UUD 1945, seorang presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan dari jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.

Selain itu, pemakzulan juga dapat dilakukan apabila yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden. Namun, pelaksanaan prosedur ini membutuhkan dukungan besar di parlemen dan proses hukum yang kompleks.

Langkah awal dalam proses pemakzulan harus melalui sidang paripurna DPR yang dihadiri oleh setidaknya dua pertiga dari seluruh anggota DPR. Dalam sidang tersebut, dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir harus menyatakan persetujuan atas usulan pemakzulan.

Mahfud mengingatkan bahwa komposisi kekuatan politik saat ini sangat mendukung pemerintah. Koalisi Prabowo-Gibran diketahui telah menguasai sekitar 81 persen kursi di parlemen. Kondisi ini menyebabkan usulan pemakzulan sulit melewati tahap awal di DPR.

Secara politik, dua pertiga dari total anggota itu sekitar 380 orang. Sulit menggalang angka sebesar itu ketika mayoritas anggota berada di kubu yang sama,” terang Mahfud.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa apabila usulan tersebut berhasil lolos dari DPR, prosesnya masih berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan pemeriksaan secara hukum dan konstitusional. Jika MK menyatakan terbukti, barulah DPR dapat meneruskan usulan tersebut ke MPR.

Namun, Mahfud kembali menekankan bahwa secara praktik, pemakzulan tidak pernah sepenuhnya mengikuti aturan hukum maupun konstitusi. Ia mencontohkan beberapa kasus di masa lalu seperti pemberhentian Presiden Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid yang dinilainya sarat dengan rekayasa politik.

Politik itu tidak hitam putih. Dalam praktik sejarahnya, pemberhentian presiden itu tidak pernah murni mengikuti konstitusi. Itu rekayasa konstitusional yang ujung-ujungnya adalah urusan kekuasaan,” jelasnya.

Mahfud juga menyinggung soal dugaan pelanggaran hukum dalam putusan MK terkait batas usia capres-cawapres yang memuluskan jalan Gibran menuju kursi wapres. Meski mengakui adanya kejanggalan, ia mengatakan keputusan MK tetap sah dan mengikat karena telah berkekuatan hukum tetap.

Begitu hakim sudah memutuskan, meskipun prosesnya salah, itu tetap mengikat. Kalau ada yang keberatan, maka jalan satu-satunya adalah lewat jalur politik, bukan konstitusi,” tambahnya.

Sebelumnya, usulan pemakzulan Gibran muncul dari Forum Purnawirawan TNI dalam pertemuan di Jakarta Utara pada 17 April 2025. Dalam forum tersebut, sejumlah jenderal purnawirawan menyuarakan delapan tuntutan politik, salah satunya adalah mendesak MPR untuk mencopot Gibran dari jabatannya.

Forum itu dihadiri oleh 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Tokoh-tokoh yang menandatangani tuntutan tersebut antara lain Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, dan Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto.

Meski demikian, Mahfud mengingatkan bahwa aspirasi politik seperti itu wajar dalam demokrasi. Namun, keberhasilannya tetap bergantung pada dukungan politik yang nyata di lembaga-lembaga negara. “Kalau kekuatan tidak mencukupi, maka usulan hanya akan menjadi wacana,” pungkasnya.

Baca berita pilihan kami lainnya langsung di ponselmu : WhatsApp Channel

Berikan Komentar