Membangun Aceh dari Anak Negeri: Antara Hak Istimewa dan Tanggung Jawab Sejati

Drs. M. Isa Alima, Pemerhati Sosial, Budaya, dan Masa Depan Aceh

Dalam langkah-langkah kecil yang kami ayunkan hari ini, sesungguhnya sedang kami ikhtiarkan satu cita lama yang terus hidup dalam benak orang-orang yang mencintai tanah kelahirannya: agar putra-putri terbaik Aceh dapat kembali pulang dan mengabdi di negerinya sendiri.

Cita ini bukan lahir dari semangat kedaerahan sempit. Bukan pula karena ingin menutup pintu bagi siapa pun yang datang dari luar. Tidak. Sama sekali bukan itu. Ini tentang rasa memiliki, tentang cinta tanah air, dan tentang semangat keacehan yang perlahan mulai tergerus oleh arus zaman dan kebijakan yang terkadang lupa akar.

Kami tahu dan mendengar bahwa ada pula saudara dari daerah lain yang ingin berkarya di Aceh. Dan itu hal yang wajar. Negeri ini memang kaya: dalam budaya, sumber daya, dan potensi sosial. Aceh punya pesona yang membuat siapa pun bisa jatuh cinta. Tapi yang ingin kami sampaikan hari ini adalah lebih dalam dari itu, bahwa Aceh—sebelum menjadi tanah harapan bagi orang luar—harus terlebih dahulu menjadi tanah harapan yang nyata bagi anak-anaknya sendiri.

Hak Kekhususan Aceh Harus Dijalankan, Bukan Sekadar Dicatat

Aceh bukan provinsi biasa. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah menegaskan kekhususan yang melekat pada daerah ini. Salah satu bentuk nyatanya adalah kewenangan Gubernur Aceh untuk memberikan persetujuan tertulis terhadap pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati).

Kewenangan ini tak dimiliki gubernur dari provinsi manapun di Indonesia. Ini bukan sebatas prosedur hukum. Ini adalah bentuk penghormatan negara terhadap kedaulatan politik dan kepercayaan masyarakat Aceh, sekaligus pengakuan atas sejarah panjang perjuangan daerah ini dalam memperjuangkan keadilan.

Sayangnya, banyak kebijakan justru bergerak ke arah yang berlawanan: mengabaikan semangat pemberdayaan lokal. Kita sering menyaksikan posisi strategis justru diisi oleh orang-orang dari luar daerah, sementara putra-putri Aceh hanya menjadi penonton di tanah kelahirannya sendiri. Padahal mereka tumbuh dengan bahasa dan budaya Aceh, memahami denyut masyarakat, dan siap mengemban tanggung jawab dengan penuh dedikasi.

Sudah saatnya kita mengubah pendekatan pembangunan. Bukan sekadar mengejar efisiensi teknokratis, tetapi juga menghidupkan keadilan emosional dan sosial. Memberdayakan anak negeri adalah langkah strategis untuk membangun rasa percaya dan merawat identitas Aceh.

Buaya Sungai Menunggu, Buaya Darat Menangkap Rezeki

Pepatah Aceh yang sering dilupakan kembali terngiang hari ini:

“Buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki.”

Secara harfiah, pepatah ini berarti:

“Buaya sungai hanya diam di tempat, sedangkan buaya dari luar justru mendapat rezeki.”

Secara kiasan, ia menyoroti fenomena sosial yang begitu nyata:

Mereka yang telah lama hidup, mengabdi, dan berjuang di daerah sendiri—justru diabaikan dan tak dilibatkan. Sementara mereka yang baru datang, malah disambut dengan segala peluang dan kemudahan.

Anak negeri hanya menjadi saksi, sedangkan orang luar menjadi penerima hasil.

Realitas ini tidak boleh kita biarkan terus berlangsung. Karena jika kekhususan Aceh hanya tinggal pasal dalam undang-undang, dan jika anak-anak Aceh tak mendapat tempat di negerinya sendiri, maka kita bukan sedang membangun Aceh—kita sedang meninggalkannya perlahan.

Aceh membutuhkan mereka yang tak hanya mengerti rencana, tapi juga memahami luka. Yang tidak hanya membawa gelar dan jaringan, tapi juga membawa hati dan sejarah. Yang pernah menangis saat tanah ini terbakar, dan tersenyum saat rakyatnya berdamai. Mereka adalah anak negeri. Dan mereka bukan beban. Mereka adalah aset.

Kami tidak sedang menolak orang luar. Kami hanya meminta: jangan abaikan yang sudah lama setia. Jangan hanya menyambut hujan yang datang dari langit, sementara sungai jernih di depan mata terus dipandang sebelah mata.

Jangan abaikan putra daerah. Jangan sampai mereka hanya sukses di luar, sementara tanah kelahirannya sendiri menutup pintu bagi mereka.

Mari kita buka mata, dan lebih penting lagi, buka hati. Mari kita mulai dari anak negeri, dan membentangkan tangan bagi semua yang datang dengan niat baik, dengan semangat membangun.


Inilah Waktunya.
Bukan besok. Bukan nanti. Tapi sekarang.

Untuk membangun Aceh dengan cinta yang mengakar, dan bukan semata kebijakan yang mengambang.


Ditulis oleh:
Drs. M. Isa Alima
Pemerhati Sosial, Budaya, dan Masa Depan Aceh

Berikan Komentar