Memorial Living Park Diresmikan, Wagub Aceh Desak Pemerintah Segera Tunaikan Kompensasi Korban DOM
Lingkanews.com | Pidie — Pemerintah meresmikan Memorial Living Park di bekas Pos Statis Rumoh Geudong, Gampong Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Kamis (10/7/2025). Lokasi ini dahulu menjadi simbol kekerasan masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Kini, kawasan tersebut berubah menjadi ruang pemulihan dan pembelajaran bagi generasi masa kini.
Peresmian dilakukan oleh Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Ia hadir bersama Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah, dan Wakil Menteri PUPR Diana Kusumastuti. Mereka menyampaikan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh.
Ruang Pemulihan Bagi Korban Pelanggaran HAM
Memorial Living Park berdiri di atas lahan seluas 7 hektare. Pemerintah membangun fasilitas ini sejak 18 Oktober 2023 hingga 31 Mei 2024, dengan total anggaran mencapai Rp13,2 miliar. Kawasan ini mencakup ruang memorial, masjid, dan jalur ziarah. Tujuannya adalah menjadi sarana edukasi tentang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di lokasi tersebut.
Dalam sambutannya, Yusril menyatakan bahwa memorial ini bukan sekadar ruang terbuka. Ia menyebutnya sebagai simbol pemulihan kolektif dan bentuk penghormatan negara terhadap korban.
“Presiden Jokowi telah mengakui secara terbuka adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pembangunan ruang ini merupakan bentuk komitmen pemerintah agar tragedi serupa tidak terulang kembali,” ujar Yusril.
Ia juga menekankan pentingnya pengelolaan memorial ini secara berkelanjutan. Menurutnya, pengabaian terhadap monumen sejarah dapat menghilangkan nilai pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Wagub Aceh Desak Realisasi Kompensasi
Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah, dalam kesempatan yang sama, mendesak pemerintah pusat segera merealisasikan janji kompensasi kepada seluruh korban DOM. Ia menilai, banyak korban yang belum menerima hak mereka secara layak.
“Beberapa hari lalu saya bertemu dengan 28 perwakilan korban konflik. Mereka mengaku belum menerima bantuan apa pun. Padahal ratusan nama sudah diajukan,” tegas Fadhlullah.
Fadhlullah juga mengenang masa remajanya di kampung tersebut. Ia tumbuh dan menyaksikan langsung kekerasan militer di sekitar Rumoh Geudong. Ia menuturkan, sebagai anak-anak, ia dan teman sebaya kerap dipaksa berbaris oleh aparat.
“Saya besar di sini. Saya menyaksikan sendiri kezaliman itu. Ini bukan cerita orang lain, tapi pengalaman hidup saya sendiri,” ujarnya dengan suara berat.
Karena itu, Fadhlullah mengajak masyarakat untuk bersyukur atas perdamaian yang kini terwujud. Ia menekankan pentingnya membangun Aceh secara jujur dan terbuka, demi masa depan yang damai dan sejahtera.
Komitmen Lanjutan Pemerintah
Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyampaikan bahwa pembangunan memorial merupakan bagian dari program pemulihan non-yudisial. Ia menegaskan bahwa upaya penyelesaian ini masih berlangsung. Pemerintah akan menindaklanjuti nota kesepahaman dan laporan korban secara bertahap.
“Kami memahami harapan korban. Pemerintah sedang menyusun langkah teknis lanjutan agar proses ini berjalan adil dan transparan,” ujarnya.
Sebagai informasi, pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui secara resmi 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia. Tiga di antaranya terjadi di Aceh, yakni:
-
Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1998, Pidie)
-
Tragedi Simpang KKA (1999, Aceh Utara)
-
Kasus Jambo Keupok (2003, Aceh Selatan)
Pada Juni 2023, Presiden memulai program pemulihan HAM berat secara non-yudisial dari lokasi Rumoh Geudong. Saat itulah pembangunan Memorial Living Park secara simbolis dimulai.
Yusril menambahkan, pemerintah pusat sedang menyiapkan alokasi dana untuk pemeliharaan memorial tersebut. Ia berharap kawasan ini menjadi monumen bersejarah yang menyembuhkan luka dan memberi harapan bagi masyarakat Aceh.
“Kita ingin monumen ini hidup. Tidak seperti banyak bangunan sejarah yang akhirnya terbengkalai. Negara punya tanggung jawab untuk menjaganya,” tutup Yusril.