KPA Luwa Nanggroe Kawal Langkah Mualem, Sengketa Empat Pulau Siap Dibawa ke Forum Internasional
Lingkanews.com | Banda Aceh — Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe menyatakan penolakan keras terhadap keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tertanggal 25 April 2025 yang menetapkan empat pulau sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Juru Bicara KPA, Umar Hakim Ilhami, menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat tersebut keliru secara historis dan administratif. Menurutnya, keempat pulau itu memiliki dasar kepemilikan kuat sebagai bagian dari wilayah Aceh.
“Kami memandang ini sebagai keputusan yang keliru secara historis dan administrasi. Aceh memiliki landasan kuat untuk mempertahankan keempat pulau tersebut,” ujar Umar saat memberikan keterangan di Banda Aceh, Rabu (04/06/2025).
Lebih lanjut, KPA menyatakan akan mengawal sikap dan langkah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), dalam merespons keputusan tersebut. Bagi KPA, dukungan politik dan yuridis Pemerintah Aceh menjadi elemen krusial dalam mendorong peninjauan ulang oleh pemerintah pusat.
Jalur Hukum Nasional dan Internasional Jadi Andalan
Tidak hanya menolak secara politis, KPA juga tengah menyiapkan strategi hukum yang menyasar dua level: nasional dan internasional. Langkah ini dilakukan demi mempertahankan hak-hak teritorial Aceh berdasarkan sejarah dan hukum tata wilayah.
Berikut empat langkah hukum yang sudah disusun:
-
Pengajuan keberatan resmi ke Kemendagri dan Presiden Republik Indonesia.
-
Pengujian keputusan Kemendagri melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung.
-
Mendorong DPR Aceh untuk mengeluarkan sikap politik dan rekomendasi peninjauan ulang.
-
Menyiapkan dokumen pendukung historis dan peta kolonial sebagai bukti kepemilikan Aceh.
Jika upaya nasional menemui jalan buntu, KPA tidak segan membawa sengketa ini ke jalur internasional.
“Kami membuka semua opsi hukum yang tersedia. Bila jalur nasional tidak memberikan keadilan, kami siap membawa isu ini ke ranah internasional,” tegas Umar.
Ia juga menambahkan bahwa Pemerintah Aceh perlu segera mengkonsolidasikan data, dokumen historis, serta memaksimalkan jalur diplomatik agar tidak kehilangan lebih banyak wilayah administratif di masa mendatang.
Dukungan Politik dan Seruan Aksi Damai
KPA menyatakan kesiapan untuk menggelar aksi sipil jika aspirasi masyarakat tidak diakomodasi secara adil oleh pemerintah pusat. Meski demikian, mereka menegaskan bahwa semua bentuk perjuangan akan tetap berada dalam jalur hukum dan konstitusional.
“Kami percaya rakyat Aceh punya semangat menjaga wilayahnya, namun semua aksi kami tetap berbasis hukum dan tertib,” pungkas Umar.
Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari kalangan DPR Aceh. Beberapa anggota dewan mulai menyuarakan desakan agar Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan cepat dan terukur. Mereka mengingatkan bahwa pengabaian terhadap persoalan batas wilayah bisa berdampak pada melemahnya posisi politik Aceh dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sengketa ini bukan semata soal administrasi empat pulau, melainkan simbol dari kedaulatan daerah, keadilan tata kelola wilayah, serta efektivitas sistem desentralisasi pascareformasi.
Untuk memperkuat posisi Aceh, KPA akan terus mengawal isu ini dengan menghadirkan analisis dari para pakar geopolitik, hukum tata negara, serta sejarah Aceh. Selain itu, ruang dialog akan dibuka bagi semua pihak demi mencapai penyelesaian yang adil dan konstitusional.