Sengketa Empat Pulau di Aceh Singkil, Akademisi Desak Pemerintah Bertindak Tegas: Ini Bukan Sekadar Soal Peta
Lingkanews.com | Banda Aceh — Polemik seputar empat pulau di Aceh Singkil—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—kian mengemuka. Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya), Dr. Usman Lamreung, menyatakan bahwa isu ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut martabat dan kedaulatan Aceh secara menyeluruh.
Usman menyoroti langsung kunjungan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, ke Banda Aceh yang berlangsung beberapa hari lalu. Dalam pertemuan dengan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), Bobby menyampaikan tawaran kerja sama pariwisata sebagai bentuk sinyal hubungan baik antarprovinsi.
Namun, Usman menilai pendekatan itu justru mengandung muatan politis yang patut diwaspadai.
“Kunjungan itu memang terlihat damai, tetapi substansinya sangat serius. Sumut datang bukan hanya untuk silaturahmi, melainkan untuk menunjukkan kesungguhan dalam mengklaim empat pulau yang selama ini menjadi bagian dari Aceh,” kata Usman di Banda Aceh, Kamis (5/6/2025).
Ia menyebut, tawaran kerja sama dalam sektor pariwisata merupakan strategi halus untuk meredam reaksi publik Aceh. Namun, menurutnya, itu adalah bentuk pengaburan isu pokok.
“Kita harus bicara jujur. Ini bukan sekadar soal kerja sama ekonomi. Ini soal wilayah, soal hak, dan soal sejarah Aceh,” tegasnya.
Pemerintah Aceh Diminta Konsolidasikan Bukti dan Sikap Tegas
Usman mengingatkan bahwa sejarah dan administrasi telah mencatat keempat pulau itu sebagai bagian dari wilayah Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh tidak boleh bersikap pasif atau menunggu terlalu lama untuk merespons klaim Sumut.
“Pemerintah Aceh harus segera konsolidasikan data, peta kolonial, serta dokumen hukum dan sejarah. Setelah itu, ajukan semuanya ke Kementerian Dalam Negeri agar keputusan bisa ditinjau ulang,” ujarnya.
Ia juga meminta DPR Aceh dan anggota DPD RI dari Aceh untuk bergerak serempak. Mereka harus menyuarakan kepentingan rakyat Aceh dan mengawal masalah ini di tingkat pusat.
“Jangan ada lagi politik diam. Ini sudah menyangkut harga diri rakyat Aceh. Kalau kita lengah, wilayah ini bisa benar-benar hilang secara administratif,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Usman menegaskan bahwa kerja sama apapun dengan pihak Sumatera Utara hanya bisa dibicarakan jika status wilayah sudah jelas.
Kerja Sama Bisa Datang, Tapi Setelah Kedaulatan Tegak
Menurut Usman, rakyat Aceh tidak menolak kerja sama antardaerah. Ia mengakui bahwa potensi wisata bahari di wilayah selatan Aceh, khususnya di sekitar empat pulau tersebut, sangat menjanjikan. Namun, ia menekankan bahwa kedaulatan adalah syarat utama sebelum berbicara soal pengembangan ekonomi.
“Jika nanti empat pulau itu resmi kembali masuk ke wilayah Aceh tanpa sengketa, saya yakin rakyat Aceh akan terbuka untuk kolaborasi dengan Sumatera Utara. Tapi saat ini, itu tidak mungkin,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa publik Aceh saat ini sudah sangat peka terhadap isu batas wilayah. Maka, segala bentuk kerja sama yang tidak berpijak pada kejelasan kedaulatan hanya akan menimbulkan kecurigaan.
“Jangan berharap rakyat Aceh mau menerima kerja sama dengan pihak yang sedang mempermasalahkan tanahnya sendiri. Itu logika yang tidak akan diterima,” tambahnya.
Isu Ini Bukan Lagi Teknis, Tapi Menyangkut Harga Diri
Usman Lamreung menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa pemerintah pusat seharusnya peka terhadap sensitivitas masyarakat lokal. Ia mengajak semua pihak untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas dan bermartabat.
“Jangan biarkan isu ini terus menggantung. Setiap hari yang berlalu tanpa kejelasan justru memperkuat persepsi bahwa pemerintah tidak serius menjaga hak Aceh,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penyelesaian harus berbasis bukti kuat, komunikasi diplomatik yang aktif, dan keberanian politik. “Jika empat pulau itu dikembalikan secara sah dan legal ke Aceh, maka barulah kita bicara soal pembangunan bersama.”