Moralitas dan Loyalitas Panglima: Muzakir Manaf Menemukan Momentumnya dalam Politik Aceh
Oleh: Syahril Ramadhan (Ariel Peusangan) –
Aktivis Pemuda dan Politik Aceh, Ketua Umum HIMPALA, Pengamat Resolusi Konflik dan Kebijakan Publik Aceh
Muzakir Manaf atau Mualem bukan sekadar nama dalam catatan sejarah Aceh. Ia tak hanya dikenal sebagai Panglima Tentara Negara Aceh (TNA), tetapi juga sebagai jembatan penting antara masa lalu penuh konflik dan masa kini yang damai. Sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh memasuki fase baru, dan Mualem langsung mengambil peran kunci dalam fase tersebut. Ia tidak menunggu perintah atau panggilan. Ia maju, mengambil tanggung jawab sebagai tokoh utama transformasi, bukan demi ambisi, tetapi demi keberlanjutan perdamaian yang baru diraih.
Banyak tokoh eks kombatan di berbagai negara menggunakan posisi lamanya untuk merebut kekuasaan secara cepat. Namun, Mualem memilih jalan yang berbeda. Ia tidak memaksa rakyat atau struktur untuk mengangkatnya ke kursi Gubernur. Sebaliknya, ia membangun landasan politik yang sehat dengan merintis Partai Aceh (PA), agar rakyat bisa menyuarakan harapan melalui mekanisme demokrasi yang sah. Ini bukan sikap menunda ambisi, melainkan bentuk kedewasaan berpolitik yang mengakar dari nilai perjuangan.
Ia Menolak Dominasi, Memilih Membangun Institusi
Setelah Aceh mendapat kekhususan melalui UUPA, Mualem memiliki semua syarat untuk menjadi orang nomor satu di Aceh. Ia memimpin eks kombatan, memiliki pengaruh luas, dan dihormati di seluruh pelosok Aceh. Namun, ia tidak serta-merta memanfaatkan kekuatan itu untuk kepentingan pribadi. Ia memilih mengorganisir kekuatan dalam bentuk partai lokal, Partai Aceh, bukan demi kekuasaan, tetapi demi kepentingan rakyat Aceh agar memiliki corong politik sendiri.
Ia juga menolak pola kepemimpinan yang memusatkan kekuasaan di tangan satu orang. Sebaliknya, ia mendorong lahirnya sistem partisipatif. Saat menjabat sebagai Wakil Gubernur mendampingi dr. Zaini Abdullah, Mualem tidak pernah menggunakan kekuatan struktural KPA dan PA untuk menjatuhkan mitranya. Padahal ia memiliki cukup pengaruh untuk melakukannya. Namun, ia menahan diri dan fokus menjalankan tugas, menunjukkan bahwa etika politik bisa berjalan berdampingan dengan loyalitas.
Meskipun ia memiliki kesempatan untuk mengambil alih kepemimpinan, ia memilih tetap dalam posisi mendampingi. Ia memahami bahwa kekuasaan sejati tidak lahir dari ambisi, tetapi dari kepercayaan. Dan kepercayaan hanya tumbuh dari kesabaran, ketulusan, dan sikap yang konsisten.
Kekalahan Tak Mengubah Komitmen, Loyalitas Tak Tergoyahkan
Tahun 2017 menjadi titik kritis bagi Mualem. Ia maju sebagai calon Gubernur, namun harus menerima kenyataan bahwa suara rakyat mengarah pada kandidat lain, Irwandi Yusuf. Dalam situasi seperti itu, banyak politisi memilih jalan konflik: menggugat habis-habisan, memprovokasi basis massa, atau bahkan menciptakan ketegangan sosial. Tapi Mualem tidak memilih jalan itu. Ia tetap menjaga martabat politiknya. Ia mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi dan setelah kalah, ia menghormati keputusan tersebut.
Lebih dari itu, Mualem menunjukkan sikap sebagai negarawan sejati. Ia tetap bersikap hormat kepada Irwandi Yusuf, lawan politiknya. Ia tidak membalas intrik politik dengan manuver. Ia menghindari politik balas dendam dan lebih memilih merawat jaringan sosial dan politiknya demi masa depan Aceh.
Di sisi lain, kesetiaan Mualem terhadap Prabowo Subianto juga memperkuat karakter konsistensinya. Sejak 2009, ia mendukung Prabowo secara terbuka dan tidak pernah berpaling, meski Prabowo kalah dalam beberapa pemilihan. Banyak elite memilih untuk berpindah kubu demi kekuasaan instan, tetapi Mualem memilih tetap di garis perjuangan yang sama. Ia percaya bahwa kesetiaan bukan perkara siapa yang menang, tapi tentang siapa yang tetap bertahan dalam prinsip.
Mualem dan Prabowo: Dua Panglima, Dua Jalur, Satu Tujuan
Dukungan kepada Prabowo bukan soal pragmatisme politik. Itu adalah refleksi dari hubungan historis dan ideologis. Saat banyak tokoh menghindari Prabowo pada Pilpres 2024 karena kehadiran Gibran sebagai cawapres yang dinilai sebagai simbol dinasti politik, Mualem tidak tergoyahkan. Ia tetap berada di garis yang sama, mendukung sahabatnya sejak lama. Ia tahu, sejarah tidak menilai hasil semata, tetapi juga menghargai mereka yang tetap teguh saat badai datang.
Kini, Prabowo telah menjadi Presiden Republik Indonesia. Dan Mualem berdiri di persimpangan penting—menjemput kembali mandat rakyat Aceh. Keduanya memiliki sejarah panjang yang berseberangan: satu mewakili tentara negara, satu lagi bekas Panglima gerakan separatis. Namun kini mereka berdiri bersama, tidak karena kekuasaan, tapi karena tujuan bersama: menyelesaikan tugas sejarah.
Presiden Prabowo bahkan menyebut Mualem dalam forum internasional sebagai salah satu contoh keberhasilan resolusi konflik. Ia tidak hanya menyebut nama, tapi juga menjadikan sosok Mualem sebagai rujukan global. Ini adalah pengakuan luar biasa. Tidak semua orang yang pernah mengangkat senjata mendapat kehormatan seperti itu. Tapi Mualem memperolehnya karena ia membuktikan bahwa transisi dari medan tempur ke panggung demokrasi bisa dilakukan secara bermartabat.
Kini Saatnya Aceh Menentukan Arah Sejarah Baru
Rakyat Aceh menghadapi pilihan penting. Di tengah gempuran janji politik dan elite yang sering berpindah haluan, Mualem tetap menjadi sosok yang tidak berubah. Ia tidak pernah menjual perjuangan, tidak pernah menggadaikan integritas, dan tidak pernah meninggalkan barisan.
Jika Aceh menginginkan masa depan yang stabil, bermartabat, dan terarah, maka sosok seperti Mualem layak diberi kepercayaan. Bukan karena ia mantan Panglima, tetapi karena ia telah menunjukkan bahwa moralitas dan loyalitas bisa berjalan seiring dalam politik. Ia telah membuktikan bahwa kekuasaan bukan tujuan, tapi alat untuk menyelesaikan tugas sejarah.
Aceh tidak membutuhkan pemimpin yang hanya pandai berbicara. Aceh membutuhkan pemimpin yang telah melewati ujian sejarah, tetap teguh dalam prinsip, dan siap mengabdi tanpa syarat.
Lima tahun ke depan bukan hanya tentang pembangunan fisik. Ini soal arah, nilai, dan siapa yang benar-benar berdiri bersama rakyat—bukan hanya saat pemilu, tetapi dalam setiap masa sulit. Dan jawaban itu ada pada sosok Muzakir Manaf.