Menurut Alhadi, peta 1956 adalah batas resmi wilayah Aceh yang telah disepakati dalam MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa wilayah Aceh kembali merujuk pada peta per 1 Juli 1956. Berdasarkan referensi, wilayah ini mencakup hingga Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,” jelas Alhadi.
Peta tersebut tersimpan di Badan Informasi Geospasial (BIG). Alhadi menyebut keberadaannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 127 Tahun 2015.
Kritik atas Sikap Pemerintah
Alhadi mengkritik pemerintah pusat yang hingga kini belum merespons desakan pembukaan peta 1956. Ia menyinggung dua surat resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Hukum dan HAM. Keduanya menolak permintaan tersebut tanpa penjelasan yang memuaskan.
“Kami menganggap ini bertentangan dengan semangat perdamaian dalam MoU Helsinki. Pemerintah harus menunjukkan komitmen dalam menuntaskan semua butir kesepakatan, terutama soal batas wilayah,” tegas Alhadi.
Menurutnya, jika pemerintah terus mengabaikan hal ini, masyarakat Aceh akan merasa dirugikan secara historis dan administratif.
Harapan untuk Keadilan Wilayah Aceh
SIGAM mendorong pemerintah agar bersikap adil dan tegas dalam menyelesaikan sengketa ini. Alhadi menegaskan bahwa penyelesaian batas wilayah bukan sekadar soal dokumen, tetapi menyangkut hak dan identitas masyarakat Aceh.
“Kami ingin pemerintah pusat hadir untuk menyelesaikan, bukan menunda. Ini bukan hanya soal peta, tetapi keadilan bagi masyarakat Aceh,” katanya.
SIGAM berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret. Menurut Alhadi, ketegasan pemerintah akan menjadi bukti penghormatan terhadap proses damai yang sudah berjalan sejak 2005.