PPA Gelar FGD: Judicial Review UUPA Jadi Jalan Perubahan Ambang Batas Pengajuan Cakada
Lingkanews.com | Banda Aceh — Judicial review UUPA membuka peluang besar bagi partai politik lokal maupun nasional di Aceh untuk mengusung calon kepala daerah dengan ambang batas minimal kursi sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebesar 8,5 persen.
Judicial Review Jadi Perhatian Utama
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 mensyaratkan partai politik lokal maupun nasional harus memiliki 15 persen kursi DPRA atau DPRK untuk mengusung pasangan calon kepala daerah. Aturan ini dinilai membatasi ruang demokrasi.
Isu tersebut menjadi fokus dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Partai Perjuangan Aceh (PPA). Forum bertajuk “Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi, Revisi UUPA, dan Eksistensi Partai Politik Lokal Aceh” ini berlangsung di Plenary Hall Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI), Sabtu (23/8/2025).
Kehadiran Tokoh dan Akademisi
Diskusi menghadirkan jajaran pengurus PPA. Hadir Ketua Umum Prof. Adjunct Dr. Marniati, SE, M.Kes, Ketua Dewan Pembina Dedi Zefrizal, ST, Sekjen T. Rayuan Sukma, serta Ketua Harian Musri Idris, SE, M.Si.
Selain itu, sejumlah akademisi dan tokoh publik ikut memberi pandangan. Mereka antara lain Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Prof. Dr. Azhari, SH, MCL, MA, mantan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, S.Ag, dan dosen Fakultas Hukum USK Dr. Zainal Abidin, SH, MH.
Kritik terhadap Ambang Batas 15 Persen
Para peserta forum menilai aturan ambang batas 15 persen terlalu berat. Menurut mereka, syarat tersebut mempersempit kaderisasi politik dan menghambat regenerasi kepemimpinan di Aceh.
Prof. Hasanuddin menegaskan, rakyat berhak berkiprah tanpa terhambat regulasi. “Ketika ambang batas berlaku, orang yang brilian bisa gagal jadi pemimpin hanya karena aturan. Akibatnya, bangsa bisa merugi,” tegasnya.
Prof. Azhari menambahkan, Putusan MK telah membuka “jalan tol” bagi demokrasi dengan ambang batas 8,5 persen. “Namun, mengapa UUPA masih memilih memakai ‘jalan rusak’? Ini menjadi pekerjaan bersama yang wajib kita dorong,” katanya.
Sementara itu, Muhammad Nazar menekankan pentingnya partai lokal. “Parlok bukan sekadar simbol. Ia adalah amanat MoU Helsinki dan saluran sah aspirasi rakyat Aceh,” ujarnya.
Momentum Perubahan Sistem Demokrasi
Dr. Zainal Abidin melihat putusan MK sebagai momentum memperbaiki sistem politik. “Putusan MK No. 135 tidak boleh hanya diperdebatkan. Kita harus menjadikannya landasan untuk memperbaiki tata kelola demokrasi, baik nasional maupun di Aceh,” jelasnya.
Ketua Harian PPA, Musri Idris, SE, M.Si, menegaskan PPA akan terus mendorong perubahan. “Kami ingin demokrasi di Aceh lebih adil, terbuka, dan memberi ruang untuk semua partai,” katanya.
Senada, Sekjen PPA T. Rayuan Sukma menilai revisi UUPA sebagai kebutuhan mendesak. “Jika tidak segera diperbaiki, partai lokal akan semakin terpinggirkan. Padahal, mereka lahir dari semangat perdamaian,” ujarnya.
PPA Rumuskan Rekomendasi Strategis
Ketua Umum PPA, Prof. Adjunct Dr. Marniati, SE, M.Kes, menutup diskusi dengan penegasan sikap. “Putusan MK memang menjadi tantangan, tetapi PPA melihatnya sebagai peluang. Kami siap memperjuangkan revisi UUPA agar demokrasi lebih inklusif dan sesuai semangat MoU Helsinki,” ucapnya.
FGD ini melahirkan sepuluh rekomendasi yang akan disampaikan kepada DPRA dan pemerintah pusat. PPA menegaskan komitmen untuk terus memperkuat partai lokal serta memperjuangkan sistem politik yang sehat bagi Aceh.
- 5 persen
- ambang batas 15 persen
- ambang batas 8
- ambang batas pilkada Aceh
- demokrasi Aceh
- DPRA
- DPRA Aceh
- DPRK
- Dr Zainal Abidin
- Judicial Review
- judicial review UUPA
- Mahkamah Konstitusi
- MK No 135/PUU-XXII/2024
- MoU Helsinki
- Muhammad Nazar
- otonomi khusus Aceh
- partai lokal Aceh
- Partai Perjuangan Aceh
- partai politik lokal Aceh
- Pilkada Aceh
- Pilkada Aceh 2025
- politik Aceh
- politik lokal aceh
- PPA
- PPA Aceh
- Prof Azhari SH
- Prof Hasanuddin Yusuf Adan
- Prof Marniati
- revisi UUPA
- sejarah perdamaian Aceh
- UUPA
- UUPA 2006
- Zainal Abidin