Rencong dan Syair: Simbol Perlawanan yang Tak Pernah Mati di Tanah Pasee

Ilustrasi

Saat Rencong Masih Digenggam Nenek

Di sebuah rumah panggung tua di pedalaman Aceh Utara, Nek Limah—seorang perempuan sepuh berusia lebih dari tujuh puluh tahun—menunjukkan kepada cucunya sebilah rencong yang terbalut sarung kain batik tua. Rencong itu bukan sekadar benda pusaka. Ia menyebutnya “rencong abah”, warisan dari suaminya yang dulu ikut bertempur di hutan-hutan Pasee pada masa konflik bersenjata.

“Rencong ini bukan hanya senjata, tapi harga diri,” ujarnya perlahan, sembari memperlihatkan ukiran halus di gagang rencong itu.

Nek Limah bukan satu-satunya yang memegang kisah seperti ini. Di banyak rumah, terutama di wilayah Matangkuli, Syamtalira Bayu, dan Meurah Mulia, rencong disimpan dan dirawat sebagai simbol perlawanan dan martabat. Namun, hari ini, banyak anak muda hanya melihatnya sebagai cenderamata atau pajangan museum. Mereka jarang tahu bahwa setiap ukiran dan lengkungan pada rencong punya makna filosofis: keberanian, kecerdasan, dan kehormatan.


Syair yang Mulai Hilang dari Bibir Anak Muda

Dulu, malam-malam di kampung selalu riuh dengan lantunan syair. Orang-orang tua duduk berkeliling di surau, menyanyikan bait demi bait tentang kepahlawanan, petuah agama, dan sejarah raja-raja Pasee. Anak-anak muda duduk di pojok, diam, mendengarkan dan menghafal.

Namun, kini suara itu makin jarang terdengar.

Di SMA dan pesantren di Lhoksukon, para guru mulai khawatir. Banyak siswa tak tahu lagi apa itu “syair Aceh”. Bahkan, sebagian besar tak pernah mendengar bait syair yang dulu dilantunkan dalam acara adat atau kenduri maulid. “Kalau kita tanya apa itu syair, mereka pikir itu seperti pantun. Padahal ini jauh lebih dalam,” kata seorang guru bahasa Aceh dengan nada getir.

Syair bukan sekadar bentuk hiburan. Ia adalah cara masyarakat Pasee menyampaikan hikmah, sejarah, hingga nilai-nilai Islam. Syair mengajarkan etika, mengisahkan perjuangan, dan mengikat komunitas dalam narasi bersama. Ketika syair perlahan menghilang, yang sirna bukan hanya seni, tetapi juga jati diri.


Perlawanan Melalui Tradisi

Rencong dan syair, dalam konteks Aceh Utara, tidak bisa dipisahkan dari sejarah perlawanan. Ketika pasukan Belanda menyerbu tanah Pasee, rakyat tak hanya melawan dengan senjata, tetapi juga dengan narasi. Rencong adalah simbol fisik perlawanan—tajam, cepat, dan mengarah ke titik lemah. Sementara syair menjadi peluru dari kata-kata, menyusup ke dalam hati rakyat dan membangkitkan semangat juang.

Banyak syair lama yang mengisahkan kepahlawanan tokoh seperti Sultan Malikussaleh atau perjuangan Teungku Chik di Tiro. Dalam narasi itu, rencong digambarkan sebagai perpanjangan tangan dari niat yang suci. Bahkan dalam beberapa syair, rencong disimbolkan sebagai cahaya bagi yang tertindas.

Sayangnya, transkrip syair itu banyak yang hilang atau belum pernah didokumentasikan secara sistematis. Pengetahuan hanya bertahan dari mulut ke mulut, dan ketika sang pelantun tiada, maka hilang pula satu bab sejarah.


Menyulam Tradisi Kembali

Namun, tidak semua berita adalah kabar muram.

Di beberapa gampong di Aceh Utara, khususnya di kawasan Matangkuli dan Meurah Mulia, geliat kecil mulai terlihat. Beberapa pengrajin tradisional kembali memproduksi rencong dalam jumlah terbatas. Mereka bekerja menggunakan teknik lama—menempa besi dengan arang dan palu, tanpa bantuan mesin modern. Produksi ini didorong oleh minat sejumlah kolektor serta kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh komunitas lokal.

Sementara itu, upaya melestarikan syair Aceh turut dilakukan oleh sekolah-sekolah berbasis pendidikan dayah dan lembaga seni. Beberapa guru mengintegrasikan pembacaan syair dalam mata pelajaran muatan lokal, khususnya dalam pembelajaran sejarah dan bahasa Aceh. Hal ini turut ditopang oleh program revitalisasi budaya dari dinas kebudayaan di tingkat kabupaten dan provinsi.

Di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, kegiatan seni tutur seperti syair kerap dimunculkan kembali dalam acara festival budaya, maulid akbar, dan peringatan hari-hari besar Islam. Kegiatan ini lebih banyak digerakkan oleh lembaga adat gampong dan kerja sama dengan komunitas seni. Meskipun skalanya belum besar, langkah-langkah ini menjadi sinyal bahwa syair Aceh dan rencong belum sepenuhnya hilang. Masih ada ruang bagi generasi baru untuk mengenal dan mencintai warisan tersebut.

Meski masih kecil skalanya, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa masih ada harapan.


Tantangan di Tengah Gempuran Globalisasi

Tantangan utama yang dihadapi rencong dan syair di era kini bukan hanya lupa, tetapi juga tergantikan. Di media sosial, anak muda lebih mengenal tren musik K-Pop dan sinema global ketimbang tokoh-tokoh sejarah Pasee atau seni tutur leluhur mereka. Pendidikan formal pun belum sepenuhnya mampu menjembatani nilai-nilai tradisi dengan cara penyampaian yang relevan untuk generasi digital.

Di sisi lain, minimnya dokumentasi dan riset akademik membuat warisan ini sulit diakses dan dikembangkan. Banyak naskah lama yang rusak, belum terarsipkan, dan tidak tersedia dalam bentuk digital. Demikian pula dengan pelantun syair tua—mereka hidup dalam senyap, tanpa panggung, dan tanpa murid.

Apalagi, sebagian anak muda melihat syair sebagai sesuatu yang “jadul”, kuno, dan tidak menarik. Mereka tidak menyadari bahwa di balik syair itu tersimpan sejarah keluarga mereka, perjuangan kampung mereka, dan warisan narasi yang lebih kuat dari status media sosial mana pun.


Masa Depan yang Butuh Komitmen

Membicarakan rencong dan syair bukan hanya membahas budaya. Kita sedang membicarakan identitas. Sebuah masyarakat akan hilang bukan karena senjatanya dirampas, tapi karena narasinya dilupakan.

Pemerintah daerah, tokoh adat, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil di Aceh Utara perlu membentuk sinergi jangka panjang. Kegiatan seperti pelatihan syair untuk siswa, lomba seni tutur antar-sekolah, atau festival budaya Pasee bisa menjadi pintu awal. Rencong bisa diperkenalkan kembali melalui pelajaran muatan lokal, bahkan melalui konten digital.

Membangun museum kecil tentang sejarah Pasee, digitalisasi syair-syair lama, dan membuat dokumenter rencong bisa menjadi cara modern untuk menyentuh hati generasi sekarang.

Kuncinya ada pada keberanian untuk menghidupkan ulang bukan hanya benda dan bunyi, tapi juga makna yang terkandung di dalamnya.


Kita Masih Bisa Menyambung Narasi

Suatu hari, cucu Nek Limah — yang selama ini tak pernah tertarik dengan rencong, meminta sang nenek untuk mengajarinya tentang arti ukiran di gagang rencong abahnya. Momen itu sederhana, tapi bermakna. Barangkali di situlah semua bisa bermula kembali.

Rencong tidak akan pernah hilang selama ia masih diwariskan bukan hanya sebagai benda, tapi sebagai cerita. Syair tidak akan punah selama ia masih dilantunkan bukan hanya dengan suara, tapi dengan cinta.

Tanah Pasee punya sejarah panjang, dan masa depan itu bisa disulam kembali—dari tangan anak muda yang mengenal dirinya, dari lisan yang kembali menyanyikan syair, dan dari hati yang bangga pada jati diri.

Berikan Komentar
error: Content is protected !!